Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”
Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah,
“Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).”
“Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku”
Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.
Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu
hingga sekarang, tokoh Sufi yang berasal dari Andalusia ini oleh
sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai pelopor gagasan Islam
inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide
pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan
bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’
(religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran
transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama
sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).
Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh
Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu
Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam
ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam
tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai mendapat tempat di
Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip
tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman
al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan
rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib,
kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa
kuikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri
(self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi
“came to realize that the divinely revealed paths lead to the same
summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books,
1964], hlm.118).
Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan
tetapi sebenarnya kaum transendentalis [sengaja?] tidak
mengemukakan—kalau bukan justru menyembunyikan—fakta bahwa Ibnu Arabi
telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya
sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq
(ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social
Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau
maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk
kepada firman Allah dalam al-Quran Ali Imran:31
“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!—niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab
178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa
yang beliau fahami tentang cinta dalam ayat tersebut. Berdasarkan
objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau: (1) cinta kepada
Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami
(hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri).
Setelah menguraikan tipologi cinta
tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan
harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw
(al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang
beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi
Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para
pengikutnya itu.
Selain bait puisi di atas, kaum
Transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang
dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya disertai
dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok
tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap
dalam kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn
Arabi might reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to
Religious Diversity” dalam buku Religion of the Heart: Essays presented
to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W.
Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).
Lebih parah lagi—dan ini yang perlu
diwaspadai dan dikritisi—adalah praktek menggunting dan membuang bagian
dari teks yang tidak mendukung asumsi mereka. Sebagai contoh, ketika
mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab) yang mengungkapkan pendapat
Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan
Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh.
“All the revealed religions (shara’i‘) are
lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like
the light of the sun among the lights of the stars. When the sun
appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are
included in the light of the sun. Their being hidden is like the
abrogation of the other revealed religions that takes place through
Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just
as the existence of the light of the stars is actualized. This explains
why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in
the truth of all the messengers and all the revealed religions. They
are not rendered null (batil) by abrogation—that is the opinion of the
ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of
Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994,
hlm.125).
Dengan [sengaja?] berhenti di situ,
Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas
kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya
terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi
adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman
dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah
masing-masing—yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan
bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas
tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan
sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya
tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat
Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan
syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay
bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn
Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak
komplit itu Chittick berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini
bahwa Ibnu Arabi adalah seorang penganut pluralisme dan
transendentalist seperti dirinya.
Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang
dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka
berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi
[Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman
beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut
syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq
an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa law kanat ar-rusul fi
zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).
Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa
Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian
(al-Ma’idah:48)
“Likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan”.
Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua
dalam bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada
para Nabi, bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat
mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk
suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu difahami sekaligus untuk para
rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah.
Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi, bukan membenarkan semua
jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama. Sebaliknya,
terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan
kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya
Nabi saw. tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang
yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (2:217) dan
niscaya tidak keluar perintah membunuh orang yang murtad (hadits: “man
baddala dinahu fa-qtuluhu”).
Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan,
orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad,
karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan
mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Selengkapnya dapat dilihat di
Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid
minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar