Imam Syahid dikenal memiliki sifat yang berpengaruh yakni sifat pemimpin yang mampu mengubah:
Sifat-sifat tersebut tampak nyata pada:
1. Kemampuannya memilih pilihan tepat dari sekian banyak opsi.
2. menghindarkan diri dari membuat sesuatu menjadi tidak jelas dan “njelimet” (rumit).
3. kemampuannya menerjemahkan pemikiran dan teori menjadi kerja nyata
4. kemampuannya menyelesaikan perselisihan dan mengoreksi kesalahan dengan bijak
5. kemampuannya membawa da’wahnya melewati berbagai marhalah dan sasaran dengan menggunakan syiar-syiar dan skill aplikatif.
Tentang kemampuannya memilih pilihan tepat dari sekian banyak opsi
terlihat sejak awal kehidupannya, yakni ketika beliau dihadapkan pada
pilihan tashawwuf yang benar dengan ikhlas dan amalnya dan pilihan ta’lim (pendidikan) dan irsyad (mengarahkan masyarakat) dengan keharusan bergaul dengan mereka dan menghadiri pertemuan-pertemuan mereka.
Imam Syahid berkata dalam memoarnya: “ ..maka aku memilih yang kedua
setelah kulalui pilihan pertama.. karena amal yang manfaatnya tidak
melampaui diri sendiri adalah amal yang kurang dan kecil. Sedangkan amal
yang manfaatnya dirasakan oleh pelakunya dan juga orang lain di kampung
atau bangsanya memiliki kemuliaan, posisi dan keagungan yang lebih.”
Kemampuan memilih secara tepat ini juga terlihat saat beliau memilih
segmen da’wahnya yang pertama di warung-warung kopi, jalan-jalan dan
masjid-masjid sekaligus… beliau menyatakan bahwa masjid saja tidak
cukup. Beliau melihat pada keluguan mereka ada potensi iman yang
terabaikan..bahwa mereka lebih membutuhkan penjagaan dan pemeliharaan,
pengajaran dan arahan, pengorganisasian dan pengawasan.. dan beliau
benar-benar mendapati kecukupan bersama mereka meskipun tidak ada
keistimewaan pada mereka kecuali kesiapan untuk mendengar dan ikut yang
berarti bahwa mereka mampu belajar dan siap menerima perubahan. Beliau
juga tahu bahwa yang diinginkan dari mereka adalah menjadi contoh untuk
yang lain dalam hal kesiapan penuh mereka untuk memperbaiki kekurangan,
menjadi teladan bagaimana mereka menugaskan diri mereka dengan pekerjaan
yang mereka tunaikan dengan segenap kemampuan. Boleh jadi ada yang
datang kemudian dengan kemampuan yang lebih dari mereka.. Beliau puas
jika mereka menjadi shaf pertama yang akan diikuti oleh shaf-shaf
berikutnya yang seperti mereka. Diantara mereka ada yang menghadapi
kematian tanpa pernah takut dan peduli dengan kezaliman penguasa saat
itu.
Kemampuannya memilih pilihan tepat dari sekian banyak opsi terlihat
pula saat beliau dihadapkan pada warisan ummat yang amat banyak dan
cemerlang hasil dari pemikiran sekian banyak akal yang brilian selama 14
belas abad, beliau mampu memilih dari semua itu pilihan yang sesuai
dengan spirit zamannya, lalu melontarkan kepada ummatnya fikrah yang
telah matang yang di dalamnya terkandung semua kelengkapan dan kebaikan
yang diidam-idamkan oleh ummat.. semuanya ada bahkan lebih.. dan telah
beliau “edit” dengan baik..
Beliau menyatakan bahwa…
Kita tidak akan mengikat diri kecuali dengan sesuatu yang Allah telah perintahkan kita untuk mengikat diri kita dengannya..
Kita tidak akan mewarnai zaman ini dengan warna zaman yang tidak
sesuai dengannya..bahwa Islam adalah din untuk semua manusia dan
kemanusiaan.
Lalu beliau menampilkan fikrah dengan tampilan yang laik dan mulia,
bisa diandalkan dan mampu diaplikasikan, serta memenuhi berbagai
kebutuhan ummat semuanya, hal ini diakui oleh orang-orang yang hidup di
zamannya.. maka setiap titik tolak kebangkitan ummat yang jauh dari
fikrah beliau biasanya menjadi “kurang dan terbatas” atau “mustahil”.
Kemampuan ini terlihat kembali ketika beliau diajak oleh rekan
sejawatnya (yang kemudian berpisah) untuk mengubah proyek da’wahnya yang
teramat panjang, aktivitas damai, tenang dan moderat, menjadi proyek
perlawanan dan konfrontatif (melawan pemerintah), namun beliau
menyatakan bahwa beliau tidak akan meninggalkan keyakinannya hanya
karena keraguan mereka, sebab wasilah yang telah beliau pilih untuk
mencapai tujuan adalah hasil istiqra (bacaan mendalam satu
persatu hingga akhir) terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya yang telah
memakan waktu dan tenaga beliau dalam kajian dan penelitian mendalam.
Semua itu telah melahirkan perasaan ithmi’nan (ketentraman), keyakinan, ridha dan kepuasan.
Inilah yang beliau isyaratkan dengan ucapannya: “Memusuhi penguasa
dan menyerangnya dalam segala situasi bukanlah ajaran Islam, karena bisa
jadi suatu saat ia berdiri berhadapan dengan musuh kaum muslimin dan
menghalangi tujuan musuh, maka merupakan sikap bodoh, dan bukanlah
ajaran Islam kalau kita menyerang penguasa yang demikian.”
Demikianlah sikap beliau ketika ada keputusan pembubaran jamaah
beliau dan penangkapan tokoh-tokohnya yang membuat sempit dada mereka
yang sempit dadanya, namun beliau tetap menjauhkan diri dan da’wahnya
dari konflik sesama muslim (dengan memberontak terhadap penguasa
muslim), dan beliau menyimpan kekuatannya untuk berkhidmat kepada tanah
airnya dan untuk ummatnya yang besar.
Oleh karena itu beliau berkata kepada pengikutnya: “Serahkan diri
kalian kepada Sa’diyyin*. Aku tidak akan mengorbankan ummat demi
pemerintah, dan tidak akan mengorbankan tanah air karena masalah
kekuasaan. Yang menjadi patokan adalah akhlak bangsa dan bukan bentuk
pemerintahan. Negara dalam Islam adalah bentuk ungkapan dan aplikasi
pemahaman terhadap agama dan akhlak.”
Semua itu menjelaskan kemampuan beliau memilih opsi yang tepat dari berbagai alternative yang ada.
*Sa’diyyin : orang-orang pemerintah pimpinan Sa’ad Zaghlul Basya yang ingin menangkap Ikhwan pasca jihad Palestina. (Dr. Shalah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar